Foreign · Korea

Jalan-Jalan ke Korea, Part 3: Seoul to Jeju

Dengan perasaan harap-harap cemas, kami maju ke counter check in. Si mbak petugas check in memeriksa tiket dan passport kami. “Masih bisa, mbak?”, tanyaku sambil berdoa berharap ada keajaiban.

“Pesawat sedikit delayed, silahkan masuk ke ruang tunggu melalui pintu itu!”, jawabnya

Arghh, senangnya!!! Alhamdulillah jadwal pesawatnya delayed, kalau tidak pasti kami ketinggalan. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, kami segera ke ruang keberangkatan. Gate kami posisinya paling ujung, karenanya sekali lagi kami berlarian demi memastikan tak ketinggalan pesawat. Kalau kemarin capeknya karena kebanyakan jalan dan turun naik tangga subway, hari ini ada tambahan bonus yaitu berlari-lari di bandara Gimpo. Serunya, calon penumpang lain yang kami lewati begitu supportif, mereka memberikan jalan dan bahkan ikut menyemangati :-). Perasaan was-was berakhir bahagia saat melihat penumpang masih menunggu di depan gate keberangkatan.

Bandara terlihat overload, banyak penumpang yang tak kebagian kursi, termasuk kami. Mungkin karena libur sekolah sehingga banyak keluarga yang berlibur (peak season) dan juga mungkin karena hujan sehingga banyak penerbangan yang delayed. Untungnya ada free water di dispenser, jadi bisa minum-minum, bahkan saya masih sempat bikin energen, dari stok minuman yang saya bawa :-). Suasana sudah agak tenang, tapi tiba-tiba terdengar suara seorang ibu. Ibu itu bertengkar dengan suaminya, entah apa yang mereka ributkan. Teriakannya membuat semua mata tertuju kesana. Jadi teringat akan “Korean manner”, berisik di area umum saja dilarang apalagi bertengkar kan ya, hehehe

Seoul-Jeju ditempuh dalam waktu 1 jam. Sepanjang perjalanan tak ada sepinya karena Valzon selalu punya obrolan. Sampai kemudian kami terdiam karena ada guncangan yang cukup keras, di luar terjadi hujan. Kondisi semakin mengerikan karena guncangan terus berulang. Bahkan suara mesin pesawat terdengar semakin menderu, seperti menambah kecepatan.

“Ini bunyi mesinnya koq terdengar lebih keras ya?”, tanya Valzon

Tak ingin menambah kepanikan saya pura-pura tenang, padahal dalam hati juga gelisah.

Untungnya kondisi membaik, perjalanan stabil lagi. Pramugari menyuguhkan minuman ke penumpang. Valzon terlihat masih shock, dia tidak mau minum dan tidak semangat cerita-cerita lagi. Suasana hening sehingga deru mesin pesawat semakin menambah dramatis.

40 menit berlalu. Terjadi guncangan lagi, bahkan lebih keras. Sampai kemudian pesawat berbelok ke kiri dan terdengar suara patahan. Saya panik, valzon apalagi, dan Enno terdiam kaku menatap jendela. Pesawat kembali menembus awan, karena terus-menerus menembus awam kemudian pilot menurunkan ketinggian secara tiba-tiba. Seperti naik wahana Hysteria di Dufan, ketika berada di atas kemudian ditarik ke bawah, seperti itulah rasanya. Pantat melayang, tidak menempel dikursi, selama beberapa detik. Mulut Valzon mulai komat-kamit membaca doa, tak pernah saya melihat Valzon se-khusyuk itu. Saya juga terus memanjatkan doa sampai pada titik memasrahkan diri. Alhamdulillah kami masih diberi keselamatan, pesawat mendarat dengan sempurna dalam keadaan hujan dan angin.

Karena masih shock, kami istirahat sejenak di bandara untuk meregangkan otot. Tak lupa mengaktifkan wi-fi mencari informasi menuju guest house yang namanya Slow Terminal. Penginapan ini baru kami pesan tadi pagi lewat Airbnb. Memang agak dadakan karena saya tak punya cukup waktu untuk membuat itinerary yang lengkap, maklum banyak kerjaan yang menyita waktu. Airbnb adalah situs penyedia tempat menginap dimana seseorang menyewakan rumah atau apartemennya secara pribadi. Lee, si pemilik Slow Terminal, sudah memberikan ancer-ancer dalam tulisan Hangul. Dia mengatakan tunjukkan saja tulisan tersebut ke sopir taksi. Saya membuka internet dan google maps untuk memastikan lokasinya.

Setelah agak rileks, kami keluar bandara menuju pemberhentian taksi. Di luar hujan deras dan anginnya cukup kencang. Ditambah suhu yang dingin, sekitar 9 derajat, sukses membuat Valzon menggigil. Dia meminta kami cepat cari taksi. Tapi saya bingung pilih taksi yang mana karena ada dua tujuan, satu tujuan Seogwipo dan yang satu tujuan Jeju City. Karena tak punya informasi kami bertanya ke warga sekitar dengan menunjukkan screenshot panduan dari Lee. Kemudian kami diarahkan ke antrian taksi tujuan Jeju City. Antriannya cukup panjang dibandingkan tujuan Seogwipo. Setelah masuk ke dalam taksi baru suasana menjadi hangat. Ini musim semi apa musim dingin ya?

Driver kami bapak-bapak berumur sekitar 50-an. Dia kenakan kacamata untuk membaca petunjuk di hp saya. “Hp-mu terlalu kecil layarnya, ini pake Iphone-ku aja”, seloroh Valzon.

Si bapak kemudian mengaktifkan GPS mobilnya dan membawa kami ke penginapan. Valzon kemudian bertanya, “Yakin kau bapaknya tau alamat kita?”

Saya berkata dalam hati, “Mana kutau, lha wong ngomong dengannya aja roaming ”. Tapi daripada bikin Valzon panik dan berisik maka saya jawab, “Yakin donk, kan pakai GPS”.

Tiga clue yang saya ingat tentang panduan ke Slow Terminal adalah: jaraknya sekitar 10 menit dari bandara, dekat dengan kantor polisi dan terminal bus. Dan ketika pak driver menunjuk ‘itu kantor polisi’  dalam waktu tempuh 10 menitan maka saya percaya disitulah lokasinya. Kami turun setelah belok kanan di persimpangan jalan.

Hujan masih cukup deras, jalanan sepi dan gelap. Kami melewati sebuah blok bangunan mirip ruko atau apartemen. Ada tulisan “SLOW TERMINAL” dengan arah panah menaiki tangga bangunan itu.

“Oke, lokasinya di lantai 4”, kataku.

Tapi aneh, lokasinya gelap dan tak ada tanda-tanda kehidupan. Lampu hanya menyala jika ada orang lewat (by sensor), jadi lantai bawah yang sudah dilewati kembali gelap sehingga menambah kesan horror.

Kami tiba di lantai 4. Hanya ada satu pintu masuk tapi pintunya terkunci rapat. Kami gedor-gedor tapi tak ada jawaban. Saat itu jam 9.30 malam tapi suasananya sudah sangat sepi, hanya ada kami bertiga.

“Yakin kau di sini? Masa’ tempatnya kayak gini!”, Valzon panik.

Dibilang 100 persen yakin sih enggak juga, tapi di lantai bawah ada panduan suruh naik ke atas.  Maka tak mungkin salah alamat, mungkin pemiliknya sedang keluar rumah.

5-10 menit berlalu, kami bertiga bete karena berturut-turut mengalami kejadian yang tak menyenangkan. Mulai ketika hampir ketinggalan pesawat, kemudian peristiwa turbulence di pesawat, dan sekarang bakal menginap di tempat yang tak jelas. Membayangkan menginap 3 malam di lokasi seperti ini langsung membuyarkan harapan manis di Jeju.

Lalu ada sms masuk ke hp saya, “Apakah sudah mendarat?”

Itu sms dari Lee si pemilik guest house, langsung saya jawab, “Ya, kami bertiga di depan pintu rumahmu sekarang”

Kami girang, walau tempatnya tak sesuai harapan paling tidak kami tak harus menunggu di depan pintu. Tiba-tiba ada suara memanggil nama saya dari atas. Loh koq dari atas ya, bukan dari balik pintu.

Ternyata kami masuk dari arah yang salah, tangga itu sudah tidak difungsikan lagi. Kami diajak naik ke atas melewati balkon menuju tangga yang lain. Koper Enno yang besar langsung diseret oleh Lee. Sekarang kami berada di rumahnya.

Hilang sudah kesan angker melihat interior rumahnya yang luas, rapi, dan bersih. Dapurnya boleh digunakan sehingga kami bisa menghangatkan lauk. Makan malam terasa nikmat dengan menu nasi hangat dari 7-eleven, rendang & sambel teri yang sudah dipanaskan, juga indomie goreng. Tak lupa kami suruh Lee mencicipi makanan kami. Melihat ikan teri, Lee lalu mengeluarkan isi kulkasnya. Dia bilang dia juga punya ikan teri, yup ternyata memang sama. Hanya saja sambelnya berbeda, sambel saya gurih asin sedangkan sambel Lee agak manis. Selain itu Lee juga memberikan kimchi dan sambel terong atau apa gitu, saya lupa namanya 🙂

Jpeg Jpeg

Yang mengurus guest house ini biasanya Ji Hye, istri Lee, tapi dia sedang ke Bangkok. Saat ini Lee dibantu temannya yang juga bernama Lee, jadi ada dua Lee. Kami banyak bertanya tentang “how to get there”, dengan sigap Lee memberi informasi yang detail. Malam kedua ditutup dengan happy ending dan tak ada lagi perasaan bete karena sambutan hangat dari pemilik Slow Terminal. Malam ini kami dapat tidur nyenyak dan besok kami akan keliling pulau Jeju menggunakan bus.

Slow Terminal 2 Slow Terminal 1Slow Terminal 3 Slow Terminal 5

Foto-foto di atas milik Slow Terminal 2 yang diambil dari sini

3 thoughts on “Jalan-Jalan ke Korea, Part 3: Seoul to Jeju

    1. Saya beli online di http://www.jejuair.net/jejuair/main.jsp
      Harganya gak salah sekitar 800ribu PP. Untuk mendapatkan harga semurah itu saya pantau via alarm skyscanner, jadi nitifikasi harga ter-update setiap hari

      Maskapai lainnya ada banyak, seperti Korean Air atau Asiana (tapi biasanya lebih mahal karena sekelas dengan Garuda Indonesia)

Leave a comment