Indonesia · Jawa Timur

Bromo Part 1: Susahnya Menuju Bromo

Tau Bromo? Tentu nama Bromo sudah tidak asing lagi bukan, secara tempat wisata ini sudah terkenal sejak dulu kala. Kali ini Saya akan bercerita tentang Bromo.

Seperti biasa Saya selalu mengajak teman-teman dan seperti biasa juga tidak semua bisa ikut :-). Kali ini hanya ada Saya, Rama, Dinar, dan Hanif.

Bromo dapat diakses dari 3 kabupaten, yaitu dari Malang, Pasuruan, dan Probolinggo. Akses termudah dan termurah dari Jogja adalah via Probolinggo karena ada kereta api ekonomi Sri Tanjung (rutenya dari Jogja ke Banyuwangi). Tarifnya hanya Rp.38.000 saja.

Setelah preparation ala kadarnya kami pun siap berangkat. Kami janjian bertemu di Stasiun Lempuyangan pada hari H.  Dinar dan Hanif berangkat barengan karena tinggal satu kos, Saya berangkat dari kontrakan, sedangkan Rama berangkat dari rumahnya.

Jam 6.30 pagi Saya sudah tiba di stasiun diantar oleh adik Saya. Suasana stasiun sudah cukup ramai. Tak lama menunggu Dinar dan Hanif juga datang, tinggal Rama yang belum datang. No wonder, Rama memang selalu menjadi last standing person, kalau janjian datangnya selalu mepet-mepet.

Kami langsung mengantri tiket. Dulu, tiket kereta ekonomi tidak bisa dibeli jauh-jauh hari alias tiket hanya bisa dibeli pada hari keberangkatan. Dan dulu, penumpang kereta ekonomi bisa penuh berjubel-jubel karena jumlah penumpangnya tidak dibatasi. Agak khawatir juga kalau tidak kebagian tiket duduk, tapi untungnya tiket duduk masih available dan keliatannya penumpangnya pun tidak terlalu ramai. Setelah mendapat tiket, Saya, Dinar, dan Hanif langsung masuk ke dalam stasiun. Saya sudah meng-sms Rama, katanya sedang on the way.

Image

Kereta berangkat jam 7.30, Rama datang beberapa menit sebelum kereta berangkat. Walaupun tidak telat, tapi menunggu orang yang datang mepet-mepet begitu menyebalkan juga, hahaha…

Kami masuk ke gerbong kereta dan duduk dalam satu blok, posisi kursi berhadap-hadapan. Blok di sebelah kami kosong sehingga kalau mau leluasa selonjoran sebagian dari kami bisa pindah kesitu. Kecuali kalau tiba-tiba banyak penumpang naik dari pemberhentian berikutnya baru kursi itu akan terisi. Namun karena masih pagi dan belum berniat tidur maka kami ngobrol-ngobrol.

Naik kereta ekonomi harus siap dengan banyaknya pedagang dan pengamen. Tapi saya suka interaksi itu, tak jarang saya begitu menikmati lagu-lagu pengamen jalanan tersebut. Dan saya juga sering mengamati barang dagangannya. Itu karena setiap pedagang punya jualan yang khas. Ada pedagang yang menjual makanan dan minuman yang memang dibutuhkan saat itu seperti nasi, pecel, aqua, mizone, tissue, rokok. Ada pedagang makanan oleh-oleh. Tapi ada juga pedagang barang-barang “ga penting” tapi unik dan murah :-D. Barang-barang itu seperti pulpen 8 warna, puzzle, mainan anak-anak, dll.

  

Ngomongin soal makanan dan minuman, saya tertarik dengan pedagang mizone. Penjualnya selalu meneriakkan mizone dengan sebutan “Mijon”. “Aqua Mijon…Aqua Mijon.. Aqua Mijon…”, kalimat itu begitu membekas dan kalau mendengar kata-kata itu saya pasti akan teringat kereta ekonomi 😉

Kami tiba di Stasiun Probolinggo jam 5.30 sore. Naik kereta ekonomi di siang hari memang cukup gerah, terutama ketika kereta berhenti di stasiun-stasiun. Namun karena ada teman ngobrol maka hal itu dapat diabaikan :-D.

Dari stasiun kami akan menuju Terminal Probolinggo, namun sebelum itu kami sempatkan dulu jamak shalat Zuhur dan Ashar di mushala stasiun. Sebenarnya mau sekalian mandi karena badan sudah lepek, tapi karena mesti buru-buru mengejar bus ke Bromo maka kami hanya cuci muka saja.

Kami belum tau bagaimana menuju terminal, namun feeling kami pasti ada angkot menuju kesana. Untuk memastikan itu, kami bertanya ke petugas di stasiun. Feeling kami benar, cukup sekali naik angkot dan membayar 2000 rupiah maka kami akan sampai di terminal.

Kami berjalan ke luar stasiun. Di depan stasiun, kami ditawarin paket ke Bromo oleh beberapa orang pria. Kami sempat menimbang-nimbang, tapi karena niat kami adalah ketengan maka tidak worth jika kami rental mobil di sini. Maka kami tinggalkan orang itu lalu menyebrang jalan, naik angkot warna merah menuju terminal.

Pemandangan kota Probolinggo di sore hari cukup menyenangkan, banyak pepohonan rindang. Kami tiba di terminal saat adzan magrib berkumandang. Tak ingin membuang waktu maka kami segera mencari bus ke Bromo. Saya selalu beranggapan bahwa terminal bukanlah tempat yang aman untuk bertanya, disana banyak calo. Bahkan kalau di Sumatra calo itu kasar-kasar, dan itu membuat saya trauma, hehehe. Saya lebih memilih bertanya ke petugas loket. Penjaga loket mengatakan bus ke Bromo standby di pinggir jalan depan terminal. Setelah mengucapkan terima kasih lalu kami bergegas kesana…

Di pinggir jalan, terlihat ada 6 buah bus ¾ , angkutan ini dikenal juga dengan sebutan bison. Saya cukup lega, rencana melihat sunrise di Bromo segera terwujud. Kami menghampiri orang yang ada disitu dan kemudian bertanya:

“Pak, apa betul ini bus ke Bromo?” tanyaku

“Betul, Mas”, jawab salah satu dari mereka. Disana ada sekitar 5 orang.

“Tapi bison akan berangkat setelah terisi penuh. Kalau tidak penuh maka tidak akan berangkat, kecuali kalau mau carter”, timpal rekan mereka yang lainnya.

Mendengar kata carter tentu tidak sesuai dengan niat kami yang pengen ketengan :-D. Maka kami memutuskan untuk menunggu penumpang lainnya, paling tidak butuh 6 orang lagi karena kami sudah ada 4 orang. Toh biasanya orang berangkat ke Bromo dalam rombongan, jadi sepertinya tidak akan lama menunggu penumpang lainnya.

Sambil menunggu penumpang lain, kami istirahat sambil makan malam dan mandi, Di situ ada warung makan dan ada kamar mandi umum. Kamar mandinya cukup bersih, recommended lah. Badan yang terasa lengket dengan keringat akhirnya segar kembali setelah mandi dengan air yang terasa cukup dingin.

Jam 8, hari semakin malam namun belum terlihat tambahan penumpang. Dalam hati bertanya-tanya, koq tidak terlihat adanya lonjakan pengunjung padahal ini long weekend. Apakah pengunjung lain itu carter mobil? Atau mungkin mereka semua pakai kendaraan pribadi? Atau mereka lewat jalur lain? Entahlah, yang jelas selama lebih kurang dua jam menunggu tak terlihat ada penumpang lain.

Karena menunggu tak ada hasilnya, maka kami kemudian memutuskan untuk melaksanakan plan B. Sebelum berangkat, saya sudah googling. Menurut info, jika bison sudah tidak beroperasi maka kita masih bisa ke Bromo dengan cara hemat lainnya yaitu menumpang truk sayur. Truk sayur itu akan pulang dari Probolinggo ke Bromo dan selalu mampir di pom bensin yang berjarak sekitar 200 m dari parkiran bison. Jadi untuk menumpang truk sayur itu kita harus standby di pom bensin.

Tapi kami tidak serta merta membatalkan rencana naik bison, siapa tau tiba-tiba ada penumpang tambahan. Kami hanya mencari alternatif lain, siapa tau ada truk sayur yang lebih duluan berangkat. Rama yang ngomong ke sopir bison:

“Pak, kami mau shalat dulu di pom bensin. Kalau sudah ada penumpang lain, sms aja ke nomer teman saya ini. Kami menunggu di sana aja”, kata Rama

Kami sudah pesimis akan ada tambahan penumpang karena sudah semakin malam, namun tak ada salahnya meninggalkan nomer hp karena siapa tau ada penumpang lain seperti kami, hehehe. Lalu saya tukeran nomer hp dengan sopir bison itu. Setelah itu kami menuju pom bensin bersiap mencari truk sayur 😀

Di pom bensin kami bertemu dengan satpam yang sedang jaga, dari logatnya sepertinya bapak ini berasal dari Madura.

“Pak, apa betul disini ada truk sayur yang ke Bromo?” tanyaku

“Iya. Biasanya ada, mas” jawabnya.

Rama, Dinar, dan Hanif juga ikut menimpali menjelaskan maksud kami. Pak Satpam itu cukup ramah.

“Tunggu saja, biasanya sebentar lagi ada truk sayur itu”. Katanya

“Nanti kalau ada akan saya panggil kalian”, tambahnya

Kami menunggu sambil bermain kartu. Satu jam menunggu, tapi tak terlihat ada truk sayur. Main kartu sudah tidak terasa menyenangkan. Rama kemudian mencoba menelpon temannya mencari informasi tambahan, tetapi memang tak ada alternatif lain. Saya dan Dinar beberapa kali “mencegat” kenek bus yang ngisi bahan bakar dan bertanya apakah busnya akan ke bromo, tetapi jawabannya selalu tidak. Pak satpam yang simpati dengan kami kemudian menyarankan rental bison dan dia akan membantu nego harga. Karena hopeless, akhirnya kami ikuti usulan pak satpam itu.

Pak satpam dan sopri bison datang. Lucunya, sopir bison yang dicarikan pak satpam itu adalah sopir yang tadi tukeran nomer hp dengan saya. Padahal tadi kami pamitan mau shalat di pom bensin tapi tidak kembali. Jangan-jangan sopir itu bakal marah? Masa bodo’ lah, yang penting sekarang kami harus tiba di Bromo sebelum pagi.

Sopir bison itu menawarkan dua alternatif. Yang pertama via Pasuruan dengan tarif Rp. 450.000. Tarif ini adalah tarif pulang pergi Probolinggo – Bromo via Pasuruan – Probolinggo, dan termasuk diantar ke Penanjakan untuk melihat sunrise. Sedangkan yang kedua via Cemoro Lawang dengan tarif Rp. 200.000. Tarif ini untuk sekali jalan saja.

Kami berpikir sejenak. Berdasarkan hitung-hitungan sederhana terlihat alternatif kedua lebih menguntungkan . Pulangnya kami tak perlu rental lagi karena kami akan pulang pada siang hari yang tentunya masih ada angkutan umum. Tanpa pikir panjang lagi maka kami putuskan ke Bromo via Cemoro Lawang. Harga sewa yang awalnya Rp 200.000 itu setelah kami nego berhasil turun menjadi Rp 150.000.

Jam 11 malam, bison siap berangkat. 5 jam ‘terlunta-lunta” mencari angkutan ke Bromo rasanya melelahkan juga :-). Saya mencari-cari Pak Satpam mau mengucapkan terima kasih tetapi beliau tidak ada (terima kasih ya, Pak). Kami masuk ke dalam bison, bison yang ada 4 baris itu hanya diisi kami berempat plus sopir dan 2 orang kernetnya. Kami duduk pada masing-masing baris agar bisa tidur-tiduran. Saya sudah tidak memperhatikan jalan, tapi dinginnya angin sangat terasa yang membuat saya menahan kebelet pipis 😀

Setelah 1 jam perjalanan kami tiba di Cemoro Lawang. Dalam keadaan mengantuk kami semua turun dari bison. Welcome to Bromo…

To be Continued…

Next On Bromo Part 2:
First Impressions
Tempat menginap jelang fajar
Penanjakan, puncak bromo, savanna, pasir berbisik

One thought on “Bromo Part 1: Susahnya Menuju Bromo

Leave a comment